Kegiatan yang terjadi saling
mempengaruhi antara makhluk hidup dan lingkungan alam di sekitarnya tergabung
dalam bentuk ekosistem yang sifatnya dinamis, salah satunya ekosistem kawasan
kars. Ekosistem di permukaan dan di bawah permukaan (gua) kawasan kars sangat
spesifik, dan cenderung bersifat lokal. Sifat ini akan melahirkan istilah flora
dan fauna yang endemik, yaitu spesies yang hanya berkembang dan dijumpai di
suatu wilayah geografi. Informasi spesies ini penting untuk dikaji secara
ilmiah, karena merupakan unsur utama pembentuk nilai strategis kawasan karst. Berikut
keanekaragaman hayati kars, yang keberadaannya berkaitan dengan lingkungan
fisik kawasan masing – masing.
1. Biosfer kars diwakili
oleh jenis tumbuhan tertentu, baik yang hidup di permukaan tanah maupun di
dalam kegelapan lorong gua. Tumbuhan kars dapat hidup karena adanya lapisan
tanah yang umumnya kaya kalsium. Unsur ini berasal dari batu gamping CaCO3,
atau dolomit CaMg(CO3)2, yang sifatnya mudah lapuk dan
larut. Sedangkan unsur lain yang sifatnya sukar melarut jika melapuk akan
membentuk tanah yang kaya akan SiO2, Al2O3, Fe2O3,
dan FeO. Tanah di kawasan kars umumnya relatif tipis, ketebalan antara 0 – 5
meter. Tanah itu mempunyai kemampuan besar dikikis dan dibawah oleh aliran air
hujan di permukaan. Kikisan tanah akan diendapkan di daerah yang lebih rendah,
atau masuk ke dalam tanah melalui sistem celah – retakan atau perguaan.
Tipisnya lapisan tanah, sedikitnya air permukaan, dan melimpahnya unsur kalsium
menyebabkan hanya tumbuhan jenis calciphilic
(tahan kering) dan petrophilic
(kekurangan tanah) saja yang dapat tumbuh dan berkembang di kawasan kars.
Beberapa jenis anggrek asal kars yang merupakan tumbuhan calciphilic memiliki nilai ekonomis tinggi karena keindahan dan
kelangkaan bunganya. Jenis calciphilic
lainnya yang mempunyai fungsi ekologi antara lain cypress, nandina, carpinus pubescens, dan beberapa jenis pteridophyta (paku – pakuan). Sedikitnya
air di permukaan kawasan kars menyebabkan tumbuhan yang ada hanyalah dari jenis
yang tahan terhadap kekeringan, misalnya jati, Opuntia monacantha, dan Euphortia
royleana. Sistem perakaran vegetasi besar di kawasan kars umumnya dalam,
yaitu supaya dapat mencapai saluran air bawah tanah di kedalaman tanah.
2. Pada daerah tropika
lembab, proses pembentukan tanah membutuhkan waktu yang sangat lama. Untuk
mendapatkan lapisan tanah (terra-rossa)
setebal 1 meter diperlukan pelarutan pada lapisan batu gamping setebal 25
meter, selama 250 – 750 tahun. Jika dalam kawasan kars ada tanah setebal 2 – 3
meter, maka dapat dibayangkan berapa lama waktu yang diperlukan oleh proses
karstifikasi, yang juga mengahasilkan bentangan alam endo- dan eksokars. Proses
denudasi (penelanjangan permukaan batuan) akibat tenaga eksogen (air, angin)
juga mempengaruhi tanah dan batuan di kawasan kars. Besanya nilai denudasi dan
kecepatan karstifikasi berbeda di setiap tempat, bahkan dalam satu kawasan yang
sangat luas.
3. Kajian informasi
palinologi di daerah Luweng Jomblang (Wonosari) menyimpulkanjati sebagai
tumbuhan yang sudah ada di wilayah tersebut sejak ribuan tahun lalu. Selain
jati, tumbuhan endemi lainnya adalah Pangium
edule, Genipa americana, dan Orophea hexandra. Sedang di Luweng Ombo
(pacitan), ribuan tahun lalu hidup tumbuhan Pandanus
tectorius, Bambussa sp., Acalypla boehmeriodes, dan Cinnamomun burmanii. Keadaan lingkungan
di dasar Luweng yang terpisah dari pemukaan memungkinkan terjadinya proses
pengawetan flora dan fauna secara alami dalam bentuk fosil. Kehadiran fosil –
fosil itu sekaligus akan enyibak sejarah lingkungan alam purba kawasan kasr
sekitarnya, yang boleh jadi berbeda dengan keadaan sekarang.
4. Tumbuhan yang hidup di
lingkungan kawasan kars yang terbatas (beberapa diantaranya bukan tumbuhan
endemi) anrtara lain jati, tusam, mahoni, akor, sonokeling, sonobrit, kayu
putih, sengon gamal, kemlanding, pilang, wuni, dan duwet. Penanaman dan
budidaya cendana yang bukan tumbuhan endemis secara polikultur di hutan
Wanagama (Gunung kidul) berhasil menghijaukan kembali kawasan kars di gunung
Sewu yang gersang.
5. Beberapa jenis pohon
bukan asli Indonesia sudah lama dibudidayakan di hutan Indonesia. Tanaman tersebut
umumnya dari jenis legume asal
Amerika selatan seperti Leucaena glauca,
Calliandra clothyrsus, glirisida maculata, Acacia auriculilformias, A.decurens,
A.mangium, Dalbergia latifolia, Sebania
grandiflora dan sebagainya. Beberapa jenis tumbuhan legume ini menghasilkan hijauan pakan ternak. Kaliandra dan Akasia
merupakan jenis pohon yang biasa dibudidayakan di kawasan kars. Di daerah Nusa Tenggar, khususnya di pulau
Sumba, tumbuhan endemi daerah itu, yaitu kemiri (Aleurites oleosa), sudah berhasil dibudidayakan dalam rangka
penghijauan. Jenis endemi lainnya yang ditanam di kawasan kars Waingapu Barat
adalah cemara (Casuarina equisetifolia)
dan kajumbang (Sterculia foetida),
juga kesambi yang menghasilkan bahan lak. Di daerah Soe (Timor) dikembangkan mahoni
(Swetenia macrophylla) yang kayunya
mempunyai nilai ekonomis tinggi.
6. Di kawasan kars
tinggian pegunungan tengah Irian Jaya, tumbuh sejenis ganggang (Cryoalgae) yang dapat hidup pada suhu
mendekati nol. Perubahan jenis tumbuhan dari pohon tinggi ke lumut, teramati
baik di sepanjang lereng pegunungan batu gamping, mulai dari ketinggian 2000
meter sampai 4500 meter di atas permukaan air laut. Dengan suhu 20 – 25 0C
dan curah hujan yang tinggi (1000 sampai 15.000 mm/tahun), kawasan ini ditutupi
oleh hutan hujan tropis yang sangat lebat. Tumbuhan jenis sub-alpina
(ketinggian 3200 – 4170 m). Alpina (4170 – 4585 m), dan Nival (diatas 4585 m),
menguasai kawasan kars tinggian dengan sebaran sangat luas. Tumbuhan yang
dijumpai antara lain spesies Asplenium, Casuarina
papuana, Cyathea, Homalanthus, Nothofagus, Pandanus, Scheffera, Thuyopsis, dan Dacrycarpus,
atau keluarga Meliaceace, Bromeliadaceae, dan Delliniaceae.
7. Fauna di kawasan kars
tropis, jenisnya sangat beragam. Binatang itu dapat menyesuaikan hidupnya dengan
lingkungan yang panas, gersang, sedikit air, dan hanya mempunyai lapisan tanah
yang relatif tipis. Binatang tersebut bisa tinggal di atas dan di bawah
permukaan, pada celah atau retakan batuan, pada sela – sela bongkahan batu dan
sebagainya. Beberapa jenis binatang yang sudah lama terjebak di dalam
lingkungan gua, misalnya di lorong yang panjang, atau di dasar sistem perguaan
yang tegak, akan mengalami evolusi. Perkembangannya ditunjukkan dengan
berubahnya morfologi tubuh, dimana hanya anggota – anggota tubuh penting saja
yang dipertahankan. Beberapa anggota tubuh yang tidak berfungsi akan hilang
atau digantikan oleh anggota tubuh lainnya yang bermanfaat di lingkungan
barunya. Secara umum, fauna kars dikelompokkan menjadi :
a. Golongan arthopoda,
termasuk udang, kepiting, serangga, dan laba – laba,
b. Golongan moluska,
termasuk keong dan bekicot yang dapat dimakan, serta jenis lain yang dianggap
dapat menjadi media (vektor) penularan penyakit bagi manusia dan ternak,
c. Golongan ikan,
d. Golongan burung,
termasuk walet,
e. Golongan mamalia,
termasuk kelelawar,
f. Golongan ular.
8. Kawasan kars di daerah
Sulawesi Selatan dikenal memiliki jenis fauna endemi seperti burung maleo,
anoa, kupu – kupu (Bantimurung), dan monyet. Di kawasan ini juga tumbuh sekitar
30 jenis ara atau beringin (Ficus spp.),
kayu hitam (Diospyros celebica), dan
pangi (Pangium edule).
9. Kawasan kars pulau
Sumba hidup burung endemi kakatua cempaka (C.sulphurea
citrinochristata). Jenis burung berbulu indah ini hidup dan berkembangbiak
di dalam lubang, ceruk, dan sistem perguaan pendek pada lapisan batu gamping.
Populasinya menurun drastis karena diperjual-belikan secara tidak terkendali.
10. Jalak (curing) Bali
mampu bertahan hidup di kawasan batu gamping di Taman Nasional Bali Barat adalah
burung endemi yang langka dan dilindungi.
11. Lingkungan gua yang
lembab dan gelap merupakan unsur ekosistem kars yang penting. Di dalam sistem
lorongnya tercipta ekosistem mikro yang sangat khas, yang terwujud dalam bentuk
rantai makanan. Komunitas bintang yang hidup di langit – langit gua (misal
kelelawar) menghasilkan kotoran (guano). Guano merupakan sumber makanan bagi
binatang ekor pegas (collembola),
lalat, kecoa, dan kumbang yang selanjutnya akan dimangsa oleh kodok. Sementara
tungau yang memakan guano merupakan makanan laba – laba. Bangkai kelelawar dan
walet adalah makanan kumbang bangkai. Kumbang selanjutnya juga dimakan oleh
kodok dan tikus. Tikus atau cecurut gua juga memangsa jangkrik dan kelabang,
sedangkan jangkrik memakan jamur yang tumbuh pada endapan guano. Rantai makanan
yang sifatnya sangat dinamis ini tercipta di dalam suatu lingkungan yang
relatif sempit. Lingkungan gelap abadi gua, menyebabkan beberapa jenis binatang
troglobion yaitu binatang yang hanya
hidup dalam gua dan tidak pernah ke luar gua, melakukan evolusi mundur. Hilangnya
indera mata, karena anggota tubuh itu tidak diperlukan lagi dalam kegelapan
abadi gua setiap harinya, digantikan oleh indera peraba. Kulit binatang ini,
mengalami perubahan pigment, yaitu menjadi tembus cahaya, atau tidak berwarna.
12. Kelelawar dan walet
adalah mamalia terbang dan burung lar yang paling sering dijumpai di kawasan
kars. Kelelewar dikenal sebagai fauna penyeimbang sistem ekologi kars,
sedangkan walet adalah burung bioekonomis. Keduanya tinggal di dalam sistem
percelahan – retakan, ceruk, dan gua – gua batu gamping. Populasinya berbeda
disetipa tempat, tergantung fari mutu lingkungan hidup sekitarnya, jumlah pakan
dan keberadaan binatang pemangsa (termasuk manusia), akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangbiakannya.
13. Golongan arthopoda
(binatang beruas) yang hidup di permukaan tanah dapat menyesuaikan dirinya
dengan tanah yang kering dan tipis. Meskipun merupakan biota kosmopolit
(tersebar luas dan dapat hidup di berbagai jenis ekosistem), kehadirannya
merupakan bagian dari mata rantai makanan penting. Sebagai binatang yang
tubuhnya bersegmen, spesiesnya sangat banyak. Golongan arthopoda ini antara
lain udang, kepiting, serangga, laba – laba, dan kalajengking. Collembola barangkali merupakan anggota arthopoda
yang berfungsi sebagai indikator lingkungan setempat. Collembola yang hidup di permukaan tanah memperoleh makanan yang
lebih beragam dibanding yang hidup di dasar – dasar gua. Arthopoda gua diduga
hidup dengan memakan bakteri.
14. Ular (kelompok
ophidia) yang memilki daya adaptasi lingkungan tinggi banyak dijumpai di
kawasan kars. Sebagai contoh, kawasan kars gunung Sewu setidaknya merupakan
habitat bagi tiga keluarga ular, Elapidae,
Colubridae, dan Bovidae. Dua jenis dari keluarga Elapidae yang hidup di daerah terbuka dan lubang – lubang kars
adalah Ophiophagus hannah (king
kobra) dan Naja naja sputatrix (kobra
asia atau dumung). King kobra yang sangat berbisa dan paling berbahaya di
antara ular – ular lainnya bisa mempunyai panjang 6 meter, dan tinggi kepala
saat menyerang sekitar 1 meter. Ular ini berwarna hitam kecoklatan, bagian dagu
sampai leher berwarna kuning hingga jingga, sementara bagian ventralnya
berwarna hitam kelabu. Sedangkan dumung ketika menyerang akan menyemburkan bisa
ke arah lawannya. Jika korban belum lumpuh, ular baru aka menggigitnya. Pada
saat menyerang, dumung yang berwarna hitam legam atau hitam kecoklatan dan
mempunyai panjang maksimum 1,6 meter itu akan menaikkan kepalanya setinggi kira
– kira 30 cm.
COMMENTS