Upacara adat Pasola ini adalah bagian dari serangkaian upacara
tradisionil yang dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya
panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti
sejenis lembing kayu dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang ujungnya
dibiarkan tumpul, yang dipakai untuk saling
melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua
kelompok yang berlawanan, Setiap
kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda. Setelah mendapat imbuhan `pa'
(pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti
permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang
sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Walaupun tombak tersebut tumpul, pasola kadang-kadang
memakan korban bahkan korban jiwa. Tapi tidak ada dendam dalam pasola, Kalau
ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat
hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau
kesalahan.
Pasola
merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat
kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat
kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga
Maret setiap tahunnya.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat
setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret
di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga
Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat
umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria
pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus
yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks
dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.
Menelurusi asal-usulnya, Rabu
Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga
bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga
Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan
pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari
kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga
bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan
dengan belasungkawa atas kepergian kematian para pemimpin mereka.
Dalam kedukaan maha dahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum’ Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat lapangan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.
Namun adat tidak
menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu
memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita Rabu
Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya. Sementara
ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung. Warga Waiwuang menyambutnya
dengan penuh sukacita.
Tetapi mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. ‘Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi,’ jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.
Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.
Pada akhir pesta pernikahan
keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta
nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan
janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung
Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta
pasola.
Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu
Sedangkan sebulan sebelum
hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga
Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat
berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian
yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas
norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.
Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya istri. Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona.
Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba. Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagi kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.
Pasola
baru dapat dimulai jika sepasang kuda nyale – proses membawa kuda berjalan
mengelilingi desa lalu memasuki lapangan, berputar putar di tengah lapangan
hingga akhirnya menepi.
COMMENTS