metode geomagnetik
             Metode Geomagnetik pertama kali dipakai untuk studi arkeologi pada pertengahan 1950-an oleh laboratorium Arkeologi, Sejarah dan Seni di Universitas Oxford, Inggris. Pada prinsipnya, metode ini berdasarkan kepada pengukuran medan magnetik bumi yang relatif statis dan bersifat tidak beraturan pada suatu daerah. Besaran meda magnetik bumi ini dipengaruhi oleh sifat – sifat magnetik batuan yang dilewatinya, karena itu metode ini akan mengukur anomali medan magnetik pada suatu daerah muncul karena adanya perbedaan kerentanan magnetik (magnetic susceptibility) batuan atau tanah.
        Sifat kemagnetan batuan sangat berhubungan dengan komposisi mineralogi, struktur dan tekstur batuan. Batuan vulkanik memiliki nlai kerentanan magnetik tinggi, batuan sedimen dicirikan oleh nilai kerentanan sedang atau menengah, sementara itu sedimen – sedimen organik memiliki nilai kerentanan magnetik yang rendah. Di dalam kaitannya dengan arkeologi, metode ini memberikan hasil yang baik bila dipakai pada daerah – daerah bekas urugan dan khususnya yang mengandung benda – benda logam. Lapisan tanah permukaan (top soil) biasanya memiliki nilai kerentanan magnetik yang lebih tinggi daripada batuan atau lapisan tanah di bawahnya (sub soil) dimana ia berasal. Namun metode ini kurang baik bila dipakai di daerah perkotaan yang banyak menyimpan benda – benda logam sebagai hasil pembangunan fasilitas kota dibawahnya, sehingga tidak dapat digunakan sebagai pendeteksi benda arkeologi secara khusus.

        Beberapa instrumen magnetometer yang sering dipakai adalah magnetometer proton yang mengukur medan magnetik total, atau kadang magnetometer yang hanya mengukur medan magnetik vertikal. Magnetometer flux-gate yang mengukur ketiga komponen medan magnetik juga bisa dipakai dalam eksplorasi benda – benda arkeologi. Pengukuran anomali intensitas atau kuat medan magnetik berasosiasi pula dengan anomali arah magnetik (magnetic direction), baik berupa simpangan sudut deklinasi maupun sudut kemiringan atau inklinasi.